Sebenarnya,
menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah
haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela,
meremehkan, atau menjatuhkan.
Namun
bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang
besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang
khususnya, maka penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram,
bahkan sangat dianjurkan. (Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu
Rajab Al-Hanbali rahimahullah)
Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan: “Bahkan hal itu wajib,
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan untuk memberi
keterangan, bukan sekedar sunnah (anjuran) semata.” (An-Naqdu Manhajus
Syar’i)
Sebagian
kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran, buku
atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan
ditinggalkan orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak
amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Dengan
alasan tersebut, ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yang dibeberkan
kebid’ahannya, kesesatan pemikirannya baik yang diucapkan maupun yang
dituangkan dalam tulisan, mereka anggap orang yang menjelaskan kesesatan
dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor dan
sebagainya.
Sehingga
di sini kita perlu mencermati lebih lanjut apa sesungguhnya pengertian
nasehat dan bagaimana perbedaannya dengan ta’yiir (celaan, mencacati).
Pengertian Nasehat
Ibnu
Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam
hal. 99 dengan menukil perkataan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah:
“Nasehat ialah kalimat yang diucapkan kepada seseorang karena
menginginkan kebaikan baginya.”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadits Tamim
Ad-Dari radhiallahu ‘anhu, katanya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْناَ لِمَنْ قاَلَ ِللهِ وَلِكِتاَبِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama
(Islam) ini adalah nasehat (diulangi tiga kali oleh beliau).” Kami
bertanya: “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Kata beliau: “Untuk Allah,
Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Serta untuk para imam (pemimpin) kaum muslimin
dan awam mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)
Hadits
ini menerangkan bahwa nasehat itu meliputi seluruh sendi-sendi ajaran
Islam, Iman dan Ihsan yang telah diuraikan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihissalam (ketika menjawab
pertanyaan Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan serta tanda-tanda hari
kiamat), dan beliau menamakan semua itu sebagai Ad-Dien (agama).1
Adapun
nasehat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, menuntut adanya pelaksanaan
secara sempurna semua kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala bebankan.
Ini pulalah tingkatan al-ihsan. Dengan demikian, tidaklah sempurna
nasehat untuk Allah itu tanpa kesempurnaan pelaksanaan
kewajiban-kewajiban-Nya, lurusnya keyakinan (‘aqidah) tentang Wahdaniyah
(keesaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengikhlaskan niat dalam
beribadah hanya kepada-Nya.
Kemudian,
nasehat untuk Kitab-Nya artinya beriman kepada kitab tersebut,
mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Adapun nasehat untuk
Rasul-Nya, maksudnya ialah meyakini kenabiannya, mencurahkan segenap
ketaatan dalam menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya.
Sedangkan nasehat untuk muslimin secara umum (bukan imam atau penguasa)
artinya membimbing dan mengarahkan kaum muslimin kepada kemaslahatan
mereka.
Ibnu
Rajab rahimahullah menerangkan pula bahwa di antara bentuk-bentuk
nasehat tersebut, terutama bagi kaum muslimin secara umum ialah
menjauhkan gangguan dan hal-hal yang tidak disukai yang akan menimpa
mereka, menyantuni orang-orang fakir di antara mereka, mengajari
orang-orang yang jahil dari mereka, serta mengembalikan orang-orang yang
menyimpang (sesat) dengan cara lemah lembut kepada kebenaran. Juga
menjalankan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka dengan cara yang
baik dan rasa cinta, serta keinginan untuk menghilangkan kerusakan yang
ada pada mereka. (Al-Jami’ hal 101)
Dengan
keinginan seperti ini, sebagian salafus shalih menyatakan: “Alangkah
senangnya aku jika seluruh manusia taat kepada Allah meskipun dagingku
dikerat dengan alat pengerat (garpu atau lainnya).”
Inilah sebetulnya, salah satu bukti pelaksanaan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk dirinya.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Sebetulnya,
karena dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini berdiri di hadapan umat,
menghalau setiap bahaya kesesatan yang akan menimpa mereka. Alangkah
tepatnya ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah ketika membalas sebuah
risalah yang dikirimkan kepada beliau: “Segala puji hanya bagi Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadikan pada masa kekosongan dari para
Rasul (fatrah) sisa-sisa ahli imu. Mereka mengajak orang-orang yang
sesat (agar kembali) kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang
ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’ kembali
orang-orang yang ‘mati’ dengan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al
Qur`an). Mencerahkan kembali mata orang-orang yang buta dengan cahaya
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak korban iblis yang telah mereka
hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing.
Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia, (namun) alangkah buruknya
perlakuan manusia terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif
(penyelewengan) orang-orang yang melampaui batas dari dalam Kitab Allah
Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an), ajaran (bid’ah) orang-orang sesat dan
takwil orang-orang yang jahil yang telah mengibarkan bendera kebid’ahan,
melepaskan tali-tali fitnah.
Ahli
bid’ah itu (sebetulnya) berselisih dalam (memahami dan mengamalkan)
Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an) sekaligus menentangnya.
Namun mereka bersatu padu untuk meninggalkannya. Mereka berbicara atas
nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
tentang Kitab-Nya tanpa ilmu (syar’i). Dan berbicara dengan hal-hal yang
mutasyabih2 dari firman Allah ini. Mereka menipu orang-orang yang bodoh
dengan syubhat yang mereka sampaikan. Kita berlindung kepada Allah dari
fitnah yang menyesatkan.” (I’lamul Muwaqqi’in)
Bahkan
kita lihat pula para ulama yang lain tidak meninggalkan hal ini
(kritikan, jarh) dan tidak pula menganggapnya sebagai hujatan atau
kecaman apalagi celaan dari orang-orang yang membantah ucapan atau
pendapat mereka secara ilmiah. Kecuali jika memang diketahui dia menulis
kekeliruan tersebut dengan ucapan yang keji, dan tidak beradab. Namun
walaupun demikian, yang ditentang hanyalah kekejian ucapan tersebut,
bukan bantahan ilmiah yang dipaparkannya.
Ibnu
Rajab rahimahullah menerangkan bahwa hal itu karena para ulama sepakat
untuk menampakkan kebenaran ajaran Islam. Sehingga Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah mengatakan tentang buku-bukunya sebagaimana dinukil oleh
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah: “Mesti ada di dalam buku-buku ini
hal-hal yang bertentangan (menyelisihi) Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Jika sekiranya Al Qur’an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Jadi,
semua yang datang bukan dari sisi Allah jelas akan banyak sekali
perselisihan di dalamnya. Dan sebaliknya, Al-Qur’an yang mulia ini yang
turun dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sama sekali tidak ada
perselisihan di dalamnya. (Lihat Tafsir As-Sa’di tentang ayat ini).
Maka,
membantah pendapat atau pemikiran yang lemah (keliru), menjelaskan
al-haq yang berbeda dengan pemikiran yang lemah tadi dengan dalil-dalil
syar’i, bukanlah sesuatu yang dibenci oleh para ulama. Sebaliknya,
mereka sangat menyukai hal demikian. Mereka juga tidak menganggapnya
sebagai ghibah. Bahkan mereka memasukkannya sebagai bagian dari nasehat
untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk imam kaum muslimin serta
awamnya. Para ulama bahkan sangat keras mengeluarkan bantahan terhadap
pendapat-pendapat yang lemah dari seorang ulama.
Ibnu
Rajab rahimahullah menukilkan dalam risalahnya Al-Farqu baina
An-Nashihati wat Ta’yiir, adanya ulama yang membantah pendapat Sa’id bin
Al-Musayyab rahimahullah yang membolehkan jatuhnya talak tiga sekaligus
dalam satu akad. Juga terhadap Al-Hasan (Al-Bashri) rahimahullah yang
menyatakan tidak ada ihdad (berkabung, tidak berhias dan keluar rumah
sampai waktu yang ditentukan) bagi seorang wanita yang ditinggal mati
suaminya. Begitu juga ulama lainnya yang memang disepakati oleh kaum
muslimin mereka adalah imam-imam pembawa petunjuk.
Sama
sekali mereka tidak menyatakan bahwa kritikan (al-jarh) terhadap
pemikiran dan penyimpangan itu sebagai suatu hujatan atau kecaman
terhadap mereka. Bahkan bukan pula aib.
Alangkah
tepatnya perkataan Al-Imam Malik rahimahullah ketika menyatakan:
“Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapatnya, kecuali pemilik
(penghuni) kubur ini –sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam–.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Kalau kalian dapati dalam kitabku
bertentangan dengan Sunnah Nabi, maka ambillah Sunnah Nabi dan
tinggalkanlah ucapanku.” (lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, hal.
50, ed)
Kalimat-kalimat
seperti ini menunjukkan betapa lapang dada para ulama kita untuk
menerima kritikan atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikirannya yang
sempat terucap maupun yang tertulis. Dan alangkah terbaliknya keadaan
mereka dengan kaum muslimin yang mengaku-aku bermadzhab dengan madzhab
para imam tersebut tapi bangkit marah serta kebenciannya, bahkan sesak
dadanya kalau imam-imam tersebut dikritik atau pendapatnya disalahkan.
Yang
lebih parah lagi, sebagian mereka justru menganggap para tokoh mereka
adalah manusia-manusia maksum, bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada
cacatnya. Maka barangsiapa yang mengkritik tokoh-tokohnya, berarti
menodai kemuliaan dan nama baik para imam tersebut.
Tentang
hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah
mengalaminya. Ketika seorang ahli nahwu di masanya berdialog dengannya
kemudian dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Ternyata tokoh tersebut (Abu Hayyan) menukil perkataan Al-Imam Sibawaih
untuk mendukung pendapatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian
berkata kepadanya (Abu Hayyan): “Apakah Sibawaih itu nabinya nahwu
sehingga harus ma’shum (bersih, terjaga dari aib dan kesalahan)?
Sibawaih keliru tentang Al Qur`an dalam 40 tempat yang tidak kamu
pahami, juga dia.” (Lihat Ar-Radd Al-Wafir hal 65)
Lebih
lanjut lagi beliau rahimahullah menerangkan: “Jika nasehat itu adalah
suatu hal yang wajib untuk kemaslahatan diniah (urusan agama) secara
umum maupun khusus, seperti (menerangkan keadaaan) para rawi yang salah
atau dusta, sebagaimana kata Yahya bin Sa’id Al-Qaththan: ‘Saya bertanya
kepada (Al-Imam) Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’d –saya kira juga–
Al-Auza’i rahimahumullah, tentang rawi yang tertuduh berkaitan dengan
sebuah hadits, atau tidak menghafalnya, (bagaimana tentang orang
tersebut)?’ Kata mereka: ‘Terangkan keadaannya!’”
Sebagian
ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Berat bagi
saya untuk mengatakan si Fulan demikian, Si Anu demikian.”3 Maka
Al-Imam Ahmad mengatakan: “Kalau engkau diam dan saya juga diam (tidak
menerangkan keadaannya), kapan orang yang jahil (tidak berilmu) akan
tahu mana hadits yang sahih dan mana yang cacat?”4
Juga
seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah, dengan berbagai pernyataan yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ahli ibadah yang
mengamalkan sesuatu yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka
menerangkan keadaan mereka dan memberikan peringatan agar kaum muslimin
menjauhi mereka (apalagi pemikiran mereka) adalah wajib menurut
kesepakatan kaum muslimin. Sampai ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah: “Seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf, itu lebih
anda sukai atau orang yang berbicara menjelaskan kesesatan ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Jika
dia menegakkan shalat, i’tikaf (dan ibadah lainnya), maka itu (pahala,
dan kemaslahatannya) hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kalau dia
berbicara (menjelaskan kesesatan ahli bid’ah) maka itu adalah untuk
kepentingan kaum muslimin, maka ini lebih utama.”
Maka
jelaslah bahwa manfaatnya lebih merata bagi kaum muslimin dan
kedudukannya sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan
Allah dan agama-Nya, manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau
kejahatan dan permusuhan mereka adalah wajib kifayah menurut kesepakatan
kaum muslimin…”5
Hal-hal yang diuraikan ini sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قاَلَ: أَتَدْرُوْنَ ماَ الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ
أَعْلَمُ. قاَلَ: ذِكْرُكَ أَخاَكَ بِماَ يَكْرَهُ
Dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah
kamu apakah ghibah itu?” Mereka (para shahabat) menjawab: “Allah dan
Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak
disukainya.” (HR. Muslim)
Seorang
mukmin jika dia jujur dalam keimanannya, maka dia tidak akan benci
kalau Anda mengatakan kebenaran yang (jelas) dicintai oleh Allah dan
Rasul-Nya, meskipun hal itu memberatkannya… Namun apabila dia tidak suka
dengan kebenaran tersebut, berarti imannya tidak sempurna, dan
persaudaraan itupun berkurang senilai dengan kurangnya iman pada diri
‘saudara’ tersebut. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوْهُ
“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya..” (At-Taubah: 62)
Maka
jelaslah, bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan
bid’ah dan ahli bid’ah merupakan salah satu bentuk nasehat untuk kaum
muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan
ghibah atau ta’yiir (celaan) yang diharamkan.
Sudah
masyhur dalam buku-buku yang membahas tentang As-Sunnah atau aqidah,
melalui uraian-uraian para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahwasanya
tidak berlaku (hukum) ghibah bagi ahli bid’ah. Di mana mereka
memaksudkan adanya pembolehan membicarakan dan membeberkan aib atau
cacat, kejelekan, ataupun kesesatan ahli bid’ah.6
Dan dalil yang menerangkan hal ini cukup banyak. Namun dapat disimpulkan bahwa semuanya terbagi dua:
Yang
pertama bersifat umum; berada di bawah keumuman dalil perintah
melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang ada dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, sebagaimana telah kita kemukakan pada pembahasan sebelumnya
(pada artikel Hakekat Jarh wat Ta’dil).
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Wajibnya melakukan amar ma’ruf
nahi munkar, telah ditegaskan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’
umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah nasehat yang
termasuk ajaran (agama) Islam.7
Dan
termasuk dalam rangkaian amar ma’ruf nahi munkar ini ialah mengajak
manusia untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menerapkannya dalam kehidupan sekaligus men-tahdzir dari
bid’ah dan ahli bid’ah.
Adapun
dalil khusus yang terkait dalam masalah ini; bolehnya mengecam,
mengkritik, dan membeberkan kesesatan ahli bid’ah, di antaranya ialah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa: 148)
Ayat
ini meskipun berkaitan dengan hak tamu yang dilanggar (tidak dipenuhi)
oleh tuan rumah, sehingga boleh bagi tamu untuk menyebutkan kejelekan
tuan rumah dalam hal ini, lebih-lebih berlaku pula terhadap orang-orang
yang menyebarkan kebid’ahan.8
Adapun
di dalam As-Sunnah, banyak pula disebutkan hadits-hadits yang
menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang
yang melakukan kerusakan, sebagai peringatan agar manusia menjauhinya.
Di antaranya ialah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
أَنَّ
عاَئِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهاَ أَخْبَرَتْهُ قاَلَتْ: اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ
عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ: ائْذَنُوْا
لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَةِ أَوِ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ فَلَمَّا
دَخَلَ أَلاَنَ لَهُ الْكَلاَمَ. قُلْتُ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ قُلْتَ
الَّذِي قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ الْكَلاَمَ؟ قَالَ: أَيْ عاَئِشَةُ،
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ
اتِّقاَءَ فُحْشِهِ
‘Aisyah
radhiallahu ‘anha mengatakan: Ada seseorang minta izin menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berkata: “Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara (putera) dalam kabilahnya.”
Ketika dia masuk, beliau melunakkan pembicaraannya terhadap orang tersebut. Saya (‘Aisyah) berkata: “Wahai
Rasulullah, anda mengatakan sebelumnya demikian (tentang dia), kemudian
anda melunakkan pembicaraan terhadapnya?” Beliau berkata: “Hai ‘Aisyah,
sesungguhnya sejahat-jahat manusia ialah orang yang ditinggalkan oleh
orang lain atau dibiarkan karena takut kekejiannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menerangkan pengertian hadits ini: “Di dalam
hadits ini terdapat dalil bolehnya melakukan mudaaraah9, terhadap orang
yang dikhawatirkan kekejiannya dan bolehnya meng-ghibah orang fasik yang
terang-terangan melakukan kefasikan (kejahatan)-nya dan orang-orang
yang memang perlu kaum muslimin jauhi.”10
Juga
hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha, ketika dia meminta
nasehat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan siapa dia
sebaiknya menikah saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا
أَبُوْ جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصاَهُ عَنْ عاَتِقِهِ وَأَمَّا مُعاَوِيَةُ
فَصُعْلُوْكٌ لاَ ماَلَ لَهُ انْكِحِي أُساَمَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun
Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya (suka memukul) dari
pundaknya. Adapun Mu’awiyah, dia miskin tidak punya harta. Menikahlah
dengan Usamah bin Zaid.” (Shahih, HR. Muslim dan lainnya)
Bolehnya
menjarh (meng-ghibah) ahli bid’ah tersirat dalam hadits ini. Kalau di
sini diungkapkan bolehnya menyebut-nyebut kekurangan seseorang (dalam
hal ini kedua sahabat) demi kepentingan urusan duniawi secara khusus,
sebagai nasehat buat shahabiah tersebut, maka tentunya lebih jelas lagi
bolehnya menyebutkan kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi
kemaslahatan kaum muslimin secara umum.11
Di
samping itu, tidak pula ada keharusan untuk menyebutkan kebaikan mereka
ketika membantah dan menerangkan adanya kesesatan nyata pada pemikiran
atau pendapat mereka.
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang
masalah ini mengatakan bahwa hal itu bukan satu keharusan. Para ulama
menerangkan hal ini dalam buku-buku mereka adalah untuk menperingatkan
dari kesesatan ahli bid’ah… kebaikan mereka tidak ada artinya
dibandingkan dengan kekafiran, jika bid’ahnya itu sampai kepada
kekafiran, gugur sudah kebaikannya. Adapun kalau bid’ahnya belum sampai
pada tingkat kufur, maka dia dalam keadaan bahaya… 12
Asy-Syaikh
Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengisahkan kepada kita bagaimana sikap orang-orang kafir yang
mendustakan para Rasul Allah ‘alaihimussalam yang datang kepada mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan kekafiran, pendustaan dan penghinaan
mereka terhadap para Rasul tersebut, kemudian bagaimana Dia
membinasakan dan menghancurkan mereka. Semua itu tercantum dalam Al
Qur`an dan sama sekali tidak ada penyebutan kebaikan mereka. Karena
tujuan utama adalah agar kita mengambil pelajaran dan menjauhi apa yang
mereka lakukan terhadap Rasul mereka.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan orang-orang Yahudi dan Nashara dengan
sifat yang sangat buruk, bahkan mengancam mereka dengan ancaman yang
sangat hebat dan sama sekali tidak menyebutkan kebaikan mereka yang
mereka runtuhkan karena kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pula men-tahdzir umatnya
dari ahli ahwa` (bid’ah) tanpa memperhatikan kebaikan yang ada pada
mereka. Karena kebaikan mereka sangat lemah, sedangkan bahaya mereka
jauh lebih hebat dan lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang
diharapkan dari kebaikan mereka.”
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتاَبَ مِنْهُ آياَتٌ مُحْكَماَتٌ هُنَّ
أُمُّ الْكِتاَبِ وَأُخَرُ مُتَشاَبِهاَتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِي
قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ ماَ تَشاَبَهَ مِنْهُ ابْتِغآءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغآءَ تَأْوِيْلِهِ وَماَ يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ
اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ
مِنْ عِنْدِ رَبِّناَ وَماَ يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُو الأَلْباَبِ
“Dia-lah
yang menurunkan Al-Kitab (Al Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas) itulah pokok-pokok isi Al Qur`an dan
yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar). Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian
ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari ta’wilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb
kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan
orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 7)
Kata
‘Aisyah radhiallahu ‘anha: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Maka jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa yang
mutasyabih dari Al-Qur’an, merekalah yang disebut oleh Allah. Maka
jauhilah mereka!” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan
kita maklum, bahwa ahli bid’ah itu tidak kosong dari kebaikan. Namun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak
memperhatikannya dan tidak menyebut-nyebutnya. Dan kita ketahui pula
bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membandingkan para
shahabatnya dengan orang-orang Khawarij:
يَخْرُجُ
فِيْكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُوْنَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِياَمَكُمْ
مَعَ صِياَمِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ
لاَ يُجاَوِزُ حَناَجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَماَ يَمْرُقُ
السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Akan
keluar di tengah-tengah kalian satu kaum yang kalian meremehkan shalat
kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dengan puasa
mereka, amalan kalian dengan amalan mereka. Mereka membaca Al-Qur’an
tapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini
seperti lepasnya anak panah dari sasaran13.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Telah
kita ketahui pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menamakan mereka sebagai anjing-anjing neraka14, seburuk-buruk bangkai
yang terbunuh di kolong langit. Artinya, mereka (Khawarij) ini lebih
berbahaya bagi kaum muslimin daripada selain mereka, baik itu dari
kalangan Yahudi maupun Nashara. Mengapa demikian? Jawabnya jelas, karena
mereka bersungguh-sungguh berusaha membantai kaum muslimin yang tidak
sejalan dengan mereka. Mereka halalkan darah dan harta kaum muslimin
lainnya, bahkan nyawa anak-anak kaum muslimin15. Mereka mengkafirkan
kaum muslimin yang tidak sefaham dengan mereka, dalam keadaan mereka
menganggap semua itu adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena parahnya kebodohan dan kesesatan mereka…”
Terakhir,
janganlah kita terjerumus dalam kepalsuan orang-orang Yahudi. Mereka
berselisih dalam urusan kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut,
namun mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka seakan-akan
bersatu padu. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membantah hal ini
dalam firman-Nya:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعاً وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (Al-Hasyr: 14)
Dan ingat, salah satu sebab mereka dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebagaimana firman-Nya:
كَانُوْا لاَ يَتَناَهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.” (Al-Maidah: 79)
Oleh
karena itu, apabila kita lihat ada orang yang membantah pendapat atau
pemikiran yang menyimpang dari Al Qur`an dan As-Sunnah, baik dalam
masalah fiqih, atau pernyataan-pernyataan bid’ah lainnya, maka
syukurilah usaha yang dilakukannya sebatas kemampuannya itu.
Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal. Wallahu a’lam.
1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Kitab Al-Iman.
2
Hal-hal yang samar dan masih membutuhkan penjelasan melalui ayat lain
atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu A’lam,
red.
3 Kekurangannya, seperti kelemahan hafalan dan sebagainya. Wallahu A’lam.
4 Majmu’ Fatawa 28/231. Dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
5 Majmu’ Fatawa 28/232. Dan lihat pembahasan Hakekat Jarh wat Ta’dil.
6 Lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
7 Syarh Shahih Muslim 2/22, secara ringkas.
8 Lihat Majmu’ Fatawa 28/230.
9
Ibnu Baththal berkata: “Al-Mudaaraah artinya berlemah lembut dengan
orang yang jahil dalam mengajari, dan terkadang dengan orang yang fasiq
dalam melarang dari perbuatan jeleknya dan tidak menyikapi keras… dan
mengingkarinya dengan ucapan serta perbuatan yang lembut, lebih-lebih
bila dibutuhkan untuk dilunakkan hatinya.” (Fathul Bari, 10/258 dinukil
dari Tuhfatul Ahyar, hal. 96) (ed)
10 Syarh Shahih Muslim 16/144.
11
Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
(28/230-231) dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim
Ar-Ruhaili.
12 Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi naqdir Rijal, Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah hal. 9.
13 Yaitu sebagaimana anak panah yang tepat mengenai sasarannya kemudian menembusnya sampai lepas darinya. (ed)
14
Sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Shudai bin ‘Ajlan yang dikeluarkan
oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakan hasan. Juga
dikeluarkan oleh Ibnu Majah rahimahullah dalam Sunan-nya dari Ibnu Abi
Aufa. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
15
Sebagaimana dialami oleh Abdullah bin Khabbab bin Al-Art, ia dan
isterinya yang hamil tua dibunuh oleh orang-orang Khawarij, kemudian
anaknya yang ada di dalam perut isterinya dikorek dan dibunuh. Inna
lillahi wa innaa ilaihi raji’un.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar, Judul: Ketika Nasehat Dianggap Celaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar